Pura Gede Perancak menjadi bukti, kali pertama Danghyang Dwijendra menginjakan di Bali, sebelum melanjutkan perjalanan suci ke berbagai tempat di pulau mungil ini.
Purancak atau Perancak, begitu nama desa yang berlokasi di pantai selatan pulau Bali bagian Barat ini. Kawasan yang masuk wilayah Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana tersebut memiliki sejarah penting terkait perjalanan seorang maharsi bernama Danghyang Nirartha, sepeninggal dari Brambangan (Blambangan) Jawa Timur, menuju tanah Bali.
Seperti banyak ditulis dalam kitab yang berkisah tentang Danghyang Dwijendra, selain dikenal banyak memberikan petuah pembelajaran tentang arti penting hidup, maharsi satu ini juga banyak menyinggahi tempat-tempat yang dikenal suci dan oleh masyarakat sekitar di tempat tersebut selanjutnya dibangun tempat-tempat suci. Dan, sejatinya pengembaraan di Bali di mulai dari desa yang kelak dikenal dengan nama Perancak.
Setelah berhasil menyeberangi Selat Bali, sembari menunggu kedatangan istri bersama putra putrinya yang ikut menyeberang ke Bali, sang maharsi kemudian berteduh di tepian pantai, tepatnya di bawah sebatang pohon ancak.
Nah, lokasi bekas tempat berteduhnya Danghyang Nirartha di bawah sebatang pohon ancak, kemudian dibangun sebuah tempat suci atau kahyangan yang disebut ”Pura Ancak”. Sedangkan kata Purancak konon berasal dari dua kata yaitu ”Mpu” dan ”Ancak”, sebagai suatu peringatan bahwa di bawah pohon ancak itu pernah berteduh seorang rohaniwan besar khususnya dalam bidang agama, Danghyang (Mpu) Nirartha. ”Lambat laun akhirnya tempat ini lumrah dinamakan Pura Perancak,” tutur Jero Mangku Nyoman Sena, Pamangku Alitan Pura Purancak.
Mengenai kisah perjalanan Danghyang Nirartha hingga tiba di Perancak, lebih jelas lontar dharma yatra Danghyang Nirartha ada menyebutkan, setelah beberapa tahun bermukim di Blambangan, terjadilah perselisihan, kesalahpahaman antara Cri Juru (Raja Blambangan) dengan Danghyang Nirartha. Cri Aji Juru (Dalem Juru) curiga kepada Danghyang Nirartha dan menuduh sang maharsi memakai guna-guna. Tuduhan ini timbul akibat bau keringat Danghyang Nirartha selalu harum seperti minyak bunga mawar, sehingga setiap orang yang duduk derdekatan dengannya turut berbau harum, sekalipun tanpa menggunakan minyak wangi.
Pancaran suci dan kharisma Danghyang Nirartha ternyata membuat seorang adik dari Raja Blambangan jatuh cinta pada rohaniwan ini.
Sebelum perseoalan melebar terlalu jauh persoalan terjadi sekaligus menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Danghyang Nirartha dengan mengajak istri dan 7 putra putrinya kemudian memilih berkemas-kemas hendak meninggalkan istana Blambangan dan menyeberang ke pulau Bali.
Pada suatu hari pada sekitar tahun icaka 14 atau tahun 1478 M menyeberanglah Danghyang Nirartha bersama sang istri Sri ratna Patni Keniten dan putera putrinya dengan melalui Segara Rupek (Selat Bali).
Tiba di pantai Blambangan atas bantuan seorang nelayan, beliau diberi meminjam perahu (jukung) yang kondisinya sudah agak rusak (bocor). Jukung dimaksud akhirnya diberikan pada istri dan putra-putrinya. Mengakali agar tak bocor, maka jukung ditutup dengan daun labu pahit pemberian warga Desa Manjaga.
Danghyang Nirartha sendiri memilih menyeberang lewat jalur lain menggunakan buah labu pahit yang isinya telah dibuang habis serta memakai tangan dan kakinya sebagai dayung dan kemudi. Tidak dikisahkan dalam pelayaran ini Danghyang Nirartha dengan selamat tanpa suatu halangan tiba di pantai Barat pulau Bali, dan ini adalah berkat bantuan labu pahit serta sudah kehendak Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Pada waktu masih di tengah lautan Danghyang Nirartha berjanji bahwa seumur hidup beliau tidak akan mengganggu hidupnya waluh (labu) pahit apalagi memakannya, dan hal ini harus diikuti oleh para keturunannya.
Oleh karena Danghyang Nirartha lebih dahulu sampai di pulau Bali ini, sambil menunggu istri bersama putera puterinya, maka beliau berteduh dibawah sebatang pohon ancak. Setelah istri bersama putera puterinya tiba, maka beliau beristirahat beberapa hari. Di Jembrana kala itu berkuasa seorang Anglurah bernama I Gusti Ngurah Rangsasa. Anglurah ini mengemong sebuah pura bernama Pura Usang.
Sekalipun telah ada Anglurah, ternyata kehidupan masyarakat di sini masih bersifat ’uraga pati’. Mereka masih dalam kegelapan, sukar mengendalikan hawa nafsu dan rendah budi pekertinya.
Melihat kenyataan seperti itu, maka sang maharsi memberikan berbagai petuah serta pemahaman akan arti kebajikan. Maka banyaklah datang warga yang hendak mendapatkan pencerahan tentang ajaran agama.
Mendengar berita ada maharsi memberikan pencerahan ajaran agama, Anglurah Rangsasa hatinya tergugah. Suatu hari dia mendatangi Danghyang Nirartha untuk diajak sembahyang di Pura Usang.
Rohaniwan ini tak hendak menolak, datanglah beliau ke pura milik I Gusti Ngurah Rangsasa dan hendak menghaturkan sembah. Baru saja Danghyang Nirartha mengatupkan tangan hendak mulai sembahyang, pura ini ternyata pecah.
Pecahnya Pura Usang sebagai pertanda kekalahan I Gusti Ngurah Rangsasa dalam berdiskusi dengan sang maharsi. Anglurah ini akhirnya mohon pamit dan memilih melanjutkan perjalanan hidup sebagai pertapa.
Sepeninggal I Gusti Ngurah Rangsasa sekaligus untuk menghormati jasa-jasa Anglurah ini selama berkuasa, maka masyarakat setempat membangun tempat suci diberi nama Pura ratu Gede Rangsasa.
Pasca sepeninggal I Gusti Ngurah Rangsasa, maka Danghyang Dwijendra bersama keluarga juga berpamitan pada warga hendak melanjutkan perjalanan melalui darat, di dalam hutan belukar yang luas (Jimbar Wana). Nah, sepeniggal maharsi dari tempat pertama kali berteduh, maka warga kemudian mengenang jasa-jasanya dengan membangun tempat suci yang diberi nama Pura Gede Perancak. ”Karena ada kaitan dengan perjalanan Danghyang Nirartha, maka pura ini berstatus dangkahyangan,” tunjuk peneliti beberapa pura di Bali, Ida Bagus Darmika.
Pura Purancak kini diempon 7 desa pakraman, di antaranya Desa Pakraman Perancak, Yeh Kuning, Dauh Waru, dan Batu Agung. Upacara keagamaan dilaksanakan tiap enam bulan (210) hari sekali, tepatnya pada hari Buda Umanis Wuku Medangsia.
Mengingat pangempon pura terdiri dari banyak desa pakraman, maka penanggungjawab setiap piodalan dilakukan secara bergilir. Sedangkan warga yang tak mendapat giliran cukup tangkil sembahyang ke Purancak. ”Sekalipun bergilir, banyak pula warga yang tak mendapat giliran ikut membantu memperlancar pelaksanaan upacara,” jelas Jero Mangku Sena. Termasuk para pamangku, mereka berusaha ngayah selama piodalan berlangsung. I Wayan Sucipta
Jalan jalan murah di Bali, liburan murah di Bali,
paket wisata murah, tour murah di Bali
Hubungi kami :
Timbul Bhuana Tours
Lisence No. : 551.21/1210/KPPT
Jalan Kapten Sujana No. 1 Blahbatuh-Gianyar-Bali-80581
Email : timbulbhuana@gmail.com
No comments:
Post a Comment